FILSAFAT ILMU KALAM




(STUDI ILMU PEMIKIRAN DALAM ISLAM)

ABSTRAK

Ilmu Kalam/Teologi Islam, adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang
berkait dengan-Nya secara rasional. Berkenaan dengan itu, maka obyek forma teologi yaitu permasalahan
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya. Sementara metodologinya, yaitu upaya
memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemaman dengan faktafakta
empirik. Biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi
islam, berada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam (Teologi Islam, Filsafat Islam,
dan Tasawuf).
Secara ilmiah, teologi islam, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, teologi islam
klasik teoritik. Disiplin ilmu ini, hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai
kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi di dunia Islam. Kedua, teologi islam
kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan Sunah-sunah Rasul-
Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Teologi kedua ini dapat
dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Pembebasan; dan
ketiga, Teologi Sosial.
Ketiga teologi islam praktik ini, merupakan teologi-teologi yang membahas aspek-aspek ketuhanan
dan berbagai kaitan-Nya, untuk mengadvokasi obyek forma teologi itu. Seperti teologi lingkungan,
maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen
rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan lingkungan alam semesta. Di sini dapat
dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi pemeliharaan lingkungan, teologi
sampah, teologi banjir, dan yang sebangsanya.
Teologi transformative. Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam
dengan argument rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan. Di sini
dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi pembebasan, teologi post
modernisme, teologi sains, dan yang sebangsanya.
Dan teologi sosial. Maksudnya yaitu pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam
dengan argument rasionalnya yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan. Di
sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti: teologi populis, teologi perdamaian,
teologi kaum tertindas, teolog gender, teologi feminis, teologi persamaan hak, dan yang sebangsanya.
Di dalam sejarah perkembangannya, teologi -- di dunia Barat -- pada mulanya berkembang dari:
Pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu cara
memahami doktrin Agama melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya. Kedua, menjadi ilmu
teologi. Sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala
sesuatu yang berkait dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi aksiologi. Sebagai sebuah eksiologi teologi
merupakan upaya memahami doktrin Agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai
permasalahan ketimpangan sosial.
Wilayah kajian teologi menyangkut: Aspek tokoh teologi; karya-karya para teolog; gagasan atau idea
para teolog; sejarah perkembangan (tokoh-tokoh, karya-karya,dan gagasan para teolog); pengaruh timbal
balik antara tokoh, karyakarya, dan gagasan para teolog dengan ipoleksosbudagama; perbandingan
(tokoh, karya-karya, dan gagasan); dan selain hal yang tersebut di depan ini. Berkenaan dengan itu,
maka berbagai metodologi/pendekatan penelitiannya, dapat menggunakan berragam metodologi
penelitian. Hal ini disesuaikan dengan aspek teologi apa yang akan diteliti oleh para pengkajinya.
Umpamanya, untuk meneliti tokoh teolog, dapat digunakan pendekatan historis, atau sosiologis. Untuk
meneliti gagasan teolog, dapat digunakan pendekatan antropologi, fenomenologi, strukturalism, atau
selain pendekatan-pendekatan tersebut.

I. ONTOLOGI
A. Nama dan Definisi Teologi Islam

Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan berragam nama, antara lain: Abu
Hanifah (d.150H/767M) memberinya nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar3. Imam Syafi’ie
(d.204H/819 M), Imam Malik (d.179H/795M), dan Imam Ja’far al-Sadiq (148H/765M) memberinya
1 Makalah disampaikan dalam Call for papers bagi Dosen Senior PTAI Annual Conference on Islamc Studies IX Tahun
2009.
2 Guru Besar (Profesor) Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam (SPPI) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
3 Lihat Mushthafa ‘Abd. Al-Raziq. 1959. Tamhid li tarikh al-falsafah al-Islamiyyah. Hlm. 265
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam, dengan istilah tokohnya disebut sebagai al-Mutakallimun. Imam
al-Asy’ari (d.324H/935M), al-Bagdady (d.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar University
memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi (d.331H/942M), al-Ghazali
(d.505H/1111M), al-Thusi (d.671H/1272M), dan al-Iji (756H/ 1355M) memberinya nama dengan
istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar (d.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-
Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah.
Muhammad ‘Abduh (d.1323H/1905M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid4. Harry
Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam5. Ahmad Mahmud Shubhy
memberinya nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam6. M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah
Speculative Theology7. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology8. Sementara itu
Harun Nasution (d.2000 M) memberi nama dengan istilah Teologi Islam9.
Dari beberapa nama yang menjadi istilah, -- berkembang selama ini --, tidak dapat dipungkiri
bahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi (‘Ilmu allahut),
yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya.
Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam/Ilmu al-lahut sebagai
discourse or reason concerning God10 ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Bahkan dengan
mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Theology to be a
discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science11 (Teologi
merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu
pengetahuan yang independen). Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh
Mushthafa Abd. Al-Raziq mendefinisikan ‘Ilmu kalam sebagai ‘Ilmu al-Kalam huwa ‘Ilmun
yatadlammanu al-hujjaja ‘an ‘aqa idi al-Imaniyyah bi al-adillah al-‘aqliyyah12 (Ilmu kalam yaitu
sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan
argumentasi-argumentasi rasional).

B. Rumpun Disiplin Ilmu Teolog Islam.

Disiplin ilmu Teologi Islam yang subyek matternya masalah ketuhanan, berpangkal dari bidang
ilmu aqidah13. Ilmu ini bertujuan untuk maksud menyempurnakan nilai-nilai spiritual manusia.
Kondisi ini, disiplin ilmu teologi islam, masih satu rumpun dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman rasional.
Rumpun disiplin ini dinyatakan sebagai disiplin ilmu-ilmu pemikiran dalam islam, yang
didalamnya mencakup: Sub disiplin teologi islam sendiri, filsafat islam, dan tasawuf dalam
islam.
Secara ilmiah, -- dalam rangka pengembangan -- sebenarnya, teologi islam ini juga dapat
didekati lewat berbagai metode, sehingga dapat menimbulkan beberapa ranting sub disiplin teologi
islam baru. Antara lain: Dengan pendekatan rasional empirik, teologi islam ini dapat menumbuhkan
disiplin teologi yang bernilai aksiologis. Seperti: teologi sosial, teologi feminis, teologi seni,
teologi ekonomi, teologi masyarakat kelas bawah, teologi kemiskinan, dan selain hal-hal
tersebut.
Sementara itu dengan pendekatan rasional murni (filsafat), akan menumbuhkan disiplin ilmu-ilmu
teologi islam lain seperti teologi transformatif, teologi sunnatullah, dan selain dua hal tersebut.

C. Obyek Kajian teologi islam

Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu, mempunyai obyek kajian tersendiri. Obyek
kajiannya yaitu ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Berkenaan
dengan itu, maka teologi islam membicarakan keyakinan kebenaran ketuhanan keagamaan islam,
bukan mencari kebenaran keagamaan islam.
C A Qadir mengistilahkan obyek kajian teologi islam ini sebagai problema atas dasar pengakuan
eksistensi Tuhan beserta sifat-sifat-Nya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya.
4 Lihat M Abdel Haleem Early Kalam, dalam Seyyed Hossein Nasr dkk (ed). 1996. “ History of Islamic Philosophy”
Hlm. 74-75.
5 Lihat Harry Austyn Wolfson. 1976. The Philosophy of Kalam.
6 Ahmad Mahmud al-Shubhy. Fi ‘Ilmi al-Kalam: Dirasah Falsafiyah Li Ara’i al-Firaq al-Islamiyyah fi Ushuli al-Din.
7 Lihat M Abdel Haleem, Early ….dst. Hlm. 71
8 Lihat C A Qadir. 1989. Philosophy and Science in the Islamic World. Hlm.46
9 Lihat Harun Nasution menulis beberapa buku tentang teologi, antara lain berjudul Teologi Islam: Aliran aliran,
Sejarah Analisa Perbandingan .
10 Lihat William L Resse. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. Hlm. 28
11 Lihat Reese Dictionary …..dst. Hlm. 28-29
12 Lihat Mushthafa ‘Abd. Al-Raziq. 1959. Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah. Hlm. 260-261.
13 CA Qadir. Philosophy and Science …dst. hlm.46
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009

D. Sejarah Perkembangan Disiplin Ilmu Teologi Islam

Secara historis, teologi islam -- yang di Barat dikenal dengan istilah teologi -- bermula sebagai
sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah
axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin
keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk
membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang
terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock14 menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of
religious faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami keyakinan, perbuatan, dan
pengalaman keagamaan secara rasional).
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sebagai
sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa pendekatan
yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga
digunakan oleh para ahli keislaman15.
Seorang pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama16 menyatakan bahwa Theological
method must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary to converse
interpretations of the specific symbols of a particular religious tradition. It is helpful, therefore, to
reflect on what kind of general theological method may be contemporary comparative theologians
despite otherwise sharp differences among them.
Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology
as Science). Sebagai sebuah disiplin ilmu, di dunia islam, teologi islam17 berkembang sejak Abu
Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah18. Adapun
orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu
Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni19, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah
‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran
keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas
obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu
dalam aspek nuthqun bi al-lisan20.
Berkenaan dengan itu, -- di dunia Barat -- seorang teolog21, menyatakan bahwa di dalam teologi
berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi ini menguraikan tentang dogmatika, etika, dan
filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica. Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah
Gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica. Teologi ini
menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi.
Pada akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan
sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah
seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi
transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada
dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an
dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang -- secara tematik --
mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.
14 Lihat Philip Bob Coch (ed). 1987. Webster’s Third New International Dictionary of the English Language. Hlm. 2371.
15 Untuk memahami secara lebih luas kajian ini, anda dapat dibaca buku Abdul Rozak. Cara Memahami Islam
(metodologi Studi Islam).Gema Media Pusakatama.
16 Lihat Mircea Eliade (ed).1987. The Encyclopedia of Religion. Vol.13&14. Hlm. 452.
17 Untuk memperluas pemahaman tentang ilmu ini, baca Abdul Rozak.dkk. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
18 Baca al- Asy’ari. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. Hlm. 23 menyatakan bahwa Wa kana al-Mu’tazilah
awwalu man isti’ana bi al-falsafah al-Yunaniyah.
19 Lihat Ibrahim Madkur. Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa tathbiquh. Jld.II. Hlm.46-47 menyatakan bahwa wala
yazalu al-madzhab al-Asy’ary ‘aqidah Ahlu Sunnah ila al-yaum ; Jo. ‘Abd Lathif Muhammad al-‘Ibr.al-Ushul al-Fikriyah Li
Madzhab Ahl al-Sunnah. Cet.X. Mesir: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah.
20 Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pokok-pokok Pembahasan Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
Hlm.19. menyatakan bahwa, ada empat unsur bahwa sebuah konstruk dapat dinyatakan sebagai ilmu, yaitu 1) terdapat
obyek tertentu yang dapat diselidiki(obyektif). 2) Dalam mengetahui obyek itu melalui metode tertentu (metodis). 3)
Kesimpulan hasil penyelidikan itu disistematisasikan secara baik dan benar (sistematis). Dan 4) Aktivitas tersebut untuk
tujuan memenuhi kebutuhan dorongan manusia (Science for the seek of science)
21 H Hilman Hadikusuma.1993. Antropologi Agama.Bandung: Citra AdityaBakti. Hlm.10
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
Pendekatan dari teologi-teologi itupun telah mengalami perkembangan. Maksudnya, teolog ini
bukan menggunakan pendekatan teologi lagi, tetapi sudah merambah dengan menggunakan
pendekatan empirik berupa sains, dan filsafatnya

II. EPISTEMOLOGI

Dari sisi metodologinya, teologi islam merupakan sebuah disiplin ilmu yang cara menyusun kajian
keilmuannya, bermula dari upaya pengkaji(saintis) mengkaji atau memahami secara mendalam ayat-ayat
al-Qur’an dan al-sunnah Rasulullah Muhammad SAW, lalu diikuti dengan upaya mengelaborasinya,
sebagai penyempurna argumen dengan memberikan fakta-fakta empirik dari pandangan maupun
penemuan para saintis sebagai argumen rasional yang memperkuatnya. Pendekatan semacam ini disebut
sebagai Pendekatan Teologi, atau metode Dialektika Teologis, atau metode Dialog Ilmiah
Keagamaan, atau metode Dialektika22saja. Keempat istilah ini, pada dasarnya bermaksud sama.
Karena yang dimaksud dengan dialektika, (Bhs.Yunani dialektike atau dialektikos, sebagai seni
berbincang-bincang, atau diskusi)23. Seorang ilmuwan menyatakan24 menyatakan bahwa dialectic sebagai
art of logical disputation (seni mengadu logika). Pada mulanya dialektika merupakan ketrampilan seorang
dialektik dalam menggunakan argumen logika atau debat, utamanya pada turnamen-turnamen debat
yang tujuan utamanya untuk membantah sebuah argumen lawan atau mengarahkan lawan agar
argumennya kontradiktif, dilematis, dan paradoks. Upayanya antara lain: mencoba tidak membiarkan
sesuatupun tesis untuk tidak dipertanyakan lewat antitesis, sehingga ketika debat akan berakhir,
diharapkan sampai pada sebuah sintesis. Hal ini dilakukan dengan mengkonter tesis-tesis seorang
dialektis via antitesis-antitesis dengan baik. Dinyatakan dalam teologinya Plato (428-348 SM) dialektika
merupakan metode metafisika. Maksudnya sebagai upaya menghasilkan pengetahuan tertinggi. Dialektika
ini dikritik oleh Aristoteles (384-322 SM) karena dianggap sebagai sama dengan sophistri25. Meski
demikian, -- katanya -- dialektika mampu menjadi sebuah metode kritik. Neoplatonis (Plotinus/205-279)
menganggap bahwa dialektika sebagai bagian dari perdebatan ke jalan menaik menuju yang satu. Lalu, di
tangan teolog Perancis, Peter Abelardus (1079-1142) dan kawan-kawannya, metode dialektika menjadi
metode Skolastisisme. Friedrich Engels (1820-1895) menggunakan istilah dialektika sebagai Materialisme
Dialektis. Tetapi Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) merupakan orang pertama yang memaparkan bahwa
proses dialektika perlu melalui tiga tahap: Tesis, Antitesis, dan Sintesis. Pada akhirnya, ketika sebuah
dialog ilmiah keagamaan, telah menggunakan proses dialektika tiga tahapan pendekatan kritis ini, akan
dihasilkan pemikiran yang sangat mendalam.
Adanya metode teologi yang jelas ini, harus diakui bahwa teologi telah memenuhi kelayakan disebut
sebagai sebuah ilmu. Bahkan seorang pakar26 teologi menyatakan bahwa Theology as science claims the
status of science, and this claim is supported by its publications and its place among university disciplines.
Pada saat ini, ketika ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, ditambah dengan
argumen-argumrn rasionalnya, telah dijadikan sebagai advokasi bagi ketimpangan sosial, maka istilah ini
juga disebut sebagai teologi. Dan teologi seperti inilah, yang akhir-akhir ini lebih berkembang. Teologi
dalam pengertian ini, secara substansial sebagai teologi axiologi, seperti teologi feminis, dan lain-lainnya.

III. AKSIOLOGI

Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam mempunyai manfaat yang sangat banyak, antara lain:
1. Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu merupakan salah satu dari tiga fondasi islam yang
pemahamannya harus ada di dalam diri seseorang, sehingga ia dapat dianggap sebagai seorang manusia
yang beriman. Dinyatakan bahwa definisi iman itu, Pertama, nuthqun bi al-lisan (menyatakan keislaman
secara lisan) harus berlandaskan ilmu yang kuat, dan ilmu yang menguatkannya antara lain, yaitu Ilmu
kalam ini. Kedua, ‘amalun bi al-arkan (melaksanakan keislaman secara fisikal) harus berlandaskan ilmu
yang hak, dan ilmu yang menjelaskannya antara lain yaitu ilmu fiqh. Ketiga, tashdiqun bi alqalbi(
membenarkan keislaman dengan hatinya) harus berpangkal dari ilmu batin yang benar, dan ilmu
yang membeberkannya yaitu ilmu tasawuf.
Untuk maksud itu, memahami dan mendalami teologi islam (ketuhanan, sifat, asma Allah SWT, dan segala
sesuatu yang berkait dengan-Nya) menjadi hal yang sangat urgen, karena dapat memberikan landasan
22 Lihat C A Qadir. Philosophy….dst. Hlm. 46-47
23 Bandingkan dengan Paul Edwards (ed. in Chief). The Encyclopedia of Philosophy. Vol.II. New York: Macmillan
Publishing Co. Inc. & The Free Press. Hlm. 385-397; Jo. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Hlm. 161-164.Jo Penulis Rosda.
Kamus Filsafat. Hlm.78-80.
24 A S Hornby. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Hlm. 238.
25 Sophistry adalah penalaran yang salah secara sengaja untuk menipu, menyesatkan, atau membela sesuatu tanpa
memperhatikan nilai atau kebenarannya.
26 Lihat Mircea Eliade The Encyclopedia…dst. Hlm. 460
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
yang kuat bagi kebenaran keyakinan keberislaman atau keberagamaan seseorang. Dalam hal ini, menjadi
kekuatan keimanan seorang beragama (muslim).
2. Aspek-aspek ketuhanan, bahkan merambah mengisi pada berbagai organisasi tertentu, antara lain yang
menyatakan dirinya sebagai aliran kebatinan. Lalu, beberapa tokoh aliran kebatinan telah meyatakan
dirinya sebagai nabi, karena katanya tokoh itu telah menerima wangsit dari Tuhan. Dengan segala
dampaknya, -- sampai hari ini -- hal ini masih saja terjadi. Berikutnya telah menimbulkan banyak konflik
antar maupun internal umat beragama.
Untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan, agar umat beragama dapat selalu hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian -- tidak selalu terlibat dalam konflik, karena eksistensi sumber konflik antara
lain, sebagai dampak dari terdapatnya pernyataan beberapa oknum bahwa sampai hari ini masih terdapat
nabi baru – pernyataan seperti itu diperlukan kajian aspek teologinya yang mendalam, agar dapat terpeta
dengan baik dan ilmiah, apakah pernyataan yang merupakan pemikiran teologi sesuatu tokoh aliran
keagamaan atau sekte tertentu itu masih dalam koridor pemikiran teologi yang selama ini telah diakui
keabsahannya oleh para ahlinya, atau merupakan sebuah pemikiran teologi netral dan mandiri. Dari sini,
lalu hasil kajian ilmiah itu dapat dijadikan sebagai bahan kebijakan oleh pemerintah dalam membuat
keputusan. Dari sini, lalu pemikiran teologi yang berkembang itu layak dikembangkan, atau perlu
dilakukan pelarangan, karena telah minimbulkan konflik antar maupun internal umat beragama. Dari
kajian ini, pada gilirannya keputusan pemerintah tentang pengembangan atau pelarangan pemikiran
teologi itu tidak merugikan berbagai pihak yang berdampak pada diskriminasi, bahkan dapat dianggap
pemerintah telah melanggar HAM.
3. Pada saat yang lain lagi -- aspek ketuhanan --, justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang.
Karena keyakinan terjadinya takdir atau nasib seseorang dapat menjadikan kehidupannya sangat dinamis
atau fatalis. Semua pemikiran itu sangat dipengaruhi oleh belenggu atau tercerahkan pemikirannya orang
itu dalam memahami pemikiran teologi di dalam kehidupannya. Ketika seseorang meyakini bahwa semua
daya manusia tidak mempunyai peranan sama sekali di dalam kehidupannya, disebabkan karena
keyakinan takdir/nasibnya telah ditentukan oleh Tuhannya -- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut
aliran teologi Jabariyah -- karena Tuhan berkuasa secara mutlak, sehingga usaha di dalam kehidupannya
dianggapnya sebagai upaya yang sia-sia saja. Berkenaan dengan itu maka ia akan menjadi manusia yang
sangat fatalis di dalam kehidupannya. Di dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di depan manusia
-- seperti peribahasa -- Tuhan ing ngarso sung tulodo.
Tetapi, kalau dengan teologinya manusia meyakini bahwa daya manusia mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, karena Tuhan telah memberikan daya kepada manusia sejak ia lahir, sehingga
terserah terhadap manusianya apakah dengan daya itu ia akan menjadi manusia yang sukses atau gagal -
- sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran teologi Mu’tazilah -- hal semacam ini akan menjadikan
manusia yang berpegang pada pemikiran teologi ini sangat dinamik di dalam kehidupannya. Hal ini,
karena keyakinannya bahwa takdirnya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mengembangkan atau tak
peduli pada bakat dari dayanya. Dari sini lalu Tuhan akan memberikan takdir kepadanya. Di dalam hal
seperti ini, Tuhan tampak berperan di belakang manusia -- seperti peribahasa -- Tuhan tut wuri handayani
terhadap kemauan manusia. Hanya kekurangannya, tipe manusia penganut teologi ini dapat bersifat
arogan, karena nyaris menafikan peran Tuhan di dalam kehidupannya.
Lain halnya, kalau dengan teologinya manusia meyakini, bahwa takdirnya merupakan kerjasama antara
kehendak Tuhan dengan kreasi daya dirinya. Di sini, seseorang berkeyakinan bahwa kehendak Tuhan
merupakan kebijakan bagi dirinya, sementara kreasi daya dirinya merupakan teknis pelaksanaannya --
demikian pemikiran menganut teologi Asy’ariyah yang konvergensis --. Maka keberhasilan atau tidaknya
takdir dirinya akan tampak, sejauhmana besaran daya kreasi teknis dirinya dalam mempengaruhi
kebijakan kehendak Tuhannya. Kalau besaran daya kreasi teknis dirinya melebih kebijakan kehendak
Tuhan, pastilah daya kreasi dirinya akan berhasil atau sukses menjadi takdir bagi dirinya. Tetapi, kalau
besaran daya kreasi teknis dirinya tidak melebihi kebijakan kehendak Tuhan, pastilah kebijakan Tuhannya
yang tetap terjadi, hanya porsinya, besaran daya kreasi teknisnya, telah mengurangi kebijakan kehendak
Tuhannya. Disini Tuhan berperan bekerjasama dengan manusia -- seperti peribahasa -- ing madya
mangun karso.
4. Secara historis, teologi islam sebagai sebuah metodologi, merupakan salah satu cara pandang diantara
berragam cara pandang di dalam memahami nilai-nilai keagamaan. Ia juga telah digunakan oleh para
pakar muslim dalam memahami berbagai fenomena keagamaan maupun sosial, dengan berbagai
kekurangannya.
Untuk itu, dengan segala konsekwensinya, lalu teologi islam dalam persfektif ini merupakan sebuah
disiplin ilmu yang sangat urgen untuk dikaji secara lebih mendalam.
5. Pada akhir-akhir ini, teologi islam sebagai sebuah aksiologi, telah banyak ditulis para pakar. Tulisan itu
dengan maksud untuk mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial; baik aspek sosial keperempuanan,
seperti teologi gender, atau teologi feminisme; juga aspek sosial kemiskinan dan ketertindasan, seperti
teologi kemiskinan atau teologi transformatifnya, dan selain hal tersebut di depan.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
Untuk maksud itu, maka mengkaji teologi islam dalam persfektif ini merupakan sebuah upaya
mengadvokasi ketimpangan sosial. Caranya dengan memahami secara mendalam wahyu Tuhan dan
Sunah Rasul-Nya, via mengembangkan disiplin teologi tertentu sesuai dengan obyek yang diinginkannya.
Dengan teologi ini diharapkan ketimpangan sosial yang terjadi dapat tereleminasi atau kalau mungkin
teratasi secara baik dan benar.

IV. Peta Wilayah Kajian dan Penelitian Teologi Islam.

Secara umum, hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sosial maupun humaniora, akan selalu
mempunyai lima wilayah kajian. Pertama, berkaitan dengan kajian para tokohnya (Rijal al-‘ilm). Kedua,
berkaitan dengan karya-karyanya (umpamanya kitab-kitabnya). Ketiga, berkaitan dengan gagasan atau
idea yang dikemukakannya (umpamanya isi tulisannya). Keempat, berkaitan dengan sejarah
perkembangannya. Kelima, berkaitan dengan pengaruhnya.
Kelima hal ini, apabila dicontohkan dalam judul penelitian, selain peneliti dapat meneliti aspek
tesisnya, juga seorang peneliti dapat meneliti aspek antitesis, sintesis bahkan komparasinya dengan tesis,
antitesis, atau sintesis lainnya, umpamanya:
1. Model penelitian tokoh, seperti: “Kedudukan Harun Nasution (sebagai seorang teolog Indonesia) ,
diantara beberapa tokoh teolog dunia”.
2. Model penelitian karya-karya tokoh, umpamanya: “ sebuah studi komparatif antara The Philosophy of
the Kalam, karya Harry Austryn Wolfson, dengan al-Milal wa al-Nihal, karya al-Syahrastani”
3. Model Penelitian Gagasan/Ide/isi karya, umpamanya: “ Sebuah tinjauan atas gagasan Creation of the
World dalam The Philosophy of the Kalam karya Harry Austryn Wolfson”. Contoh lain: “Teologi
Kebatinan Sunda karya Abdul Rozak”.
4. Model Penelitian Sejarah Perkembangan, umpamanya:
“ Sejarah perkembangan munculnya para tokoh ilmu kalam selama pemerintahan Shahabat sampai
dengan khilafah Turki Usmani”.
“ Sejarah perkembangan penulisan kitab/buku ilmu kalam di Indonesia dari awal masuknya Islam di
Indonesia, sampai kini”.
“Sejarah perkembangan -- isi gagasan tentang ilmu kalam -- ketuhanan, atau sifat-sifat, atau Asma-
Nya, atau selain ketiga hal itu, di dalam syair-syair, buku-buku sastra, Folklor atau selain itu di
Indonesia”.
5. Model Penelitian Pengaruh, umpamanya:
“Pengaruh pemikiran teologi Harun Nasution terhadap perkembangan pemikiran teologi para alumnus
program Pascasarjana UIN Syahida Jakarta dalam membangun pola fikir keislaman di Indonesia”.
“Pengaruh kitab al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani di berbagai organisasi keagamaan Islam di
Indonesia”.
“Pengaruh isi kitab Ilmu Tauhid karya Muhammad ‘Abduh di kalangan mahasiswa IAIN/UIN/STAIN se
Indonesia”.
“ Pengaruh Ipoleksosbudagama dalam kehidupan para tokoh teologi abad pertama hijriyah”.
“Pengaruh tokoh teologi abad ke tiga hijriyah terhadap perkembangan Ipoleksosbudagama”.
Dan lain-lainnya selain sampel-sampel di depan.

V. Metodologi yang digunakan di dalam penelitian teologi.

Ketika seorang peneliti, akan melakukan sebuah penelitian teologi, berkaitan dengan ayat-ayat suci
al-Qur’an atau al-Sunah, lalu metode yang digunakannya berupa metode dengan ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Sunnah dikuatkan dengan pemikiran rasional, atau biasa disebut sebagai metode dialog keagamaan,
dan hasilnya, tampak dalam bentuk tafsir-tafsir al-Qur’an atau al-Sunnah, inilah metode teologi yang
sebenarnya, dengan menghasilkan pemikiran teologi. Dapat juga, memahami ayat al-Qur’an dan alsunnah,
lewat pendekatan sains sosial, humaniora, bahkan kealaman. Dan pasti hasilya akan sangat
berbeda.
The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Surakarta, 2-5 November 2009
Ketika, seorang peneliti, akan melakukan sebuah penelitian berkait dengan biografi tokoh teologi,
maka seorang peneliti, dapat menggunakan metode historis. Namun, ketika tokoh yang diteliti berkait
dengan aspek pengelolaan organisasinya, seorang peneliti dapat menggunakan metode administrasi atau
leadership atau manajemen atau decition makingnya, dan lain-lain, selain sampel-sampel di depan.
Ketika seorang peneliti akan melakukan penelitian teologi, berkaitan dengan interaksi sosial para
tokohnya, maka seorang peneliti dapat menggunakan metode sosiologi.
Ketika seorang peneliti akan melakukan penelitian teologi, berkaitan dengan gagasan atau pengaruh
teologi seorang tokohnya, maka seorang peneliti dapat menggunakan metode antropologi, strukturalisme,
fenomenologi, politik, filologi, atau psikologi dan berbagai disiplin ilmu lainnya, disesuaikan dengan
gagasan apa yang akan dikaji oleh peneliti itu, sehingga metode dapat sesuai dengan aspek ontologi yang
sedang dikajinya.
Dari sini, dapat dinyatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu dapat digunakan sebagai cara
pandang/approach/metode untuk mengkaji berragam aspek keteologian, disesuaikan dengan ontologi apa
yang sedang dikajinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template